RETORIKA PENYEBAR TERORISME
![]() |
Achmad Fadil |
Setelah aksi bom bunuh diri di Makassar, lalu disusul teror di Mabes Polri Jakarta. Aksi-aksi teror itu tentu menyisakan tanya di benak banyak orang: apa yang membuat seseorang terpikat terorisme ideologis (ideological terrorism), hingga mau melakukan prilaku teroristik (terroristical behavior) bom bunuh diri atau 'berani mati'?
Dalam kajian terorisme global, jawabannya sangat kompleks. Ilmuan seperti Peter Neumann dalam sejumlah studinya, satu di antaranya Old and New Terrorism (2009), meyakini kalau tindakan kekerasan (termasuk aksi teroristik) sesungguhnya dibentuk dan tidak terjadi secara natural. Menurutnya, ada beberapa tahap dalam proses radikalisasi, antara lain: rasa ketidakadilan (pra-kondisi), kebutuhan emosional (titik jenuh), persentuhan dengan ideologi radikal (proses terpapar), individu berpengaruh (pendoktrin), dan normalisasi kekerasan.
Meski demikian, pendapat Neumann itu tak selalu linear dengan fakta di lapangan. Maksudnya, infilterasi ideologi haram itu tak mesti didahului rasa dan asumsi kalau negara sudah berlalu tidak adil kepada sang teroris, juga kepada umat Islam pada umumnya. Amaliyah bom bunuh diri dilakukan--demikian kajian-kajian yang ada--karena teroris yakin bisa mengantongi golden ticket atau jalan tol ekspres menuju firdaus yang oleh Chairil Anwar digambarkan secara satire sebagai tempat bersungai susu dan bertabur bidadari.
Pertanyaan mendasarnya: mengapa seseorang bisa begitu yakin akan mendapatkan golden ticket ke surga meski harus mengorbankan keluarga (istri atau bahkan anak-anaknya) atau orang lain dalam drama maut itu?
Tidak bermaksud melakukan simplifikasi atas persoalan rumit ini, bagi saya salah satu jawaban yang cukup gamblang begini: kepiawaian beretorika (baca; memanipulasi teks-teks religius) penyebar terorisme-lah yang mampu mempersuasi seseorang untuk terjun bebas ke belantara ideologi ekstrem itu. Inilah yang dalam bahasa Neumann diistilahkan dengan 'individu berpengaruh'. Apalagi saat ini perangkat-perangkat teknologi canggih (smartphone, tablet, dan laptop) berikut saluran internet yang tersedia turut mempermudah mereka untuk mengeskalasikan pengaruh paham yang dianut.
Temuan investigatif Tempo (edisi 19-25 Desember 2016), mengungkap kalau Telegram menjadi lokus komunikasi para penganut ideologi haram itu. Tapi setelah terkuak, para teroris mengubah polanya. Laporan media yang sama pada edisi 21-27 Mei 2018, medium komunikasi mereka beralih ke game online seperti Mobile Legends dan Dota yang memang sedang digandrungi banyak orang saat itu.
Tetapi pada intinya, apapun media yang digunakan untuk mendiseminasikan terorisme, baik secara face to face (dunia nyata) atau virtual (dunia maya), kepiawaian beretorika penyebarnya merupakan akar persoalan yang harus dihadang. Karena ideologi biadab itu pada dasarnya tak punya kekuatan atau pengaruh apa-apa, kecuali bila dipasarkan dengan bahasa-bahasa yang mampu mempersuasi pikiran dan perasaan seseorang.
Orang seperti Khalid Abu Bakar, buronan paling dicari Densus 88 Antiteror pada tahun 2018 karena ditengarai sebagai penyebar utama terorisme kepada jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Surabaya, sebagaimana laporan Tempo waktu itu, dengan kapiawaian beretorikanya saat pengajian, mampu mempengaruhi Dita Oepriarto (pelaku bom bunuh diri beserta istri dan keempat anaknya di tiga gereja Surabaya); Anton Ferdiantono (pelaku bom bunuh diri di Rumah Susun Wonocolo Sidoarjo) dan Tri Murtono (pelaku bom bunuh diri beserta istri dan ketiga anaknya di Polrestabes Surabaya).
Pelaku bom bunuh diri di Makassar beberapa waktu lalu, konon katanya, bisa nekat melakukan aksi horor itu hanya dalam tempo 6 bulan. Waktu yang sangat singkat bukan? Bayangkan!
Achmad Fadil
Peneliti di Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC)
Posting Komentar untuk "RETORIKA PENYEBAR TERORISME"